Bbs-news.id, Jakarta (Jumat, 17/9) – Isu penambahan batas masa jabatan Presiden menjadi 3 (tiga) periode turut mencuat seiring bergulirnya wacana amandemen ke-5 UUD 1945. Ide ini sontak mendapat perhatian dari masyarakat, ada yang mendukung, namun tak sedikit yang menolak.
Polemik ini juga menyita atensi dari para pemerhati politik, hukum, dan konstitusi. Gelaran diskusi INTEGRITY Constitutional Discussion (ICD) ketiga yang diselenggarakan oleh Kantor Hukum Indrayana Centre for Government, Constitution and Society (INTEGRITY) Law Firm, memperlihatkan beberapa pendapat para pakar mengenai pro-kontra tiga periode masa jabatan Presiden.
M. Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer yang juga merupakan penggagas komunitas Jokowi-Prabowo 2024 (Jok-Pro) menyatakan penambahan periode masa jabatan presiden merupakan keniscayaan, dengan syarat Presiden Jokowi berpasangan dengan Prabowo dalam kontestasi Pilpres 2024 nanti.
“Jokowi dan Prabowo adalah sosok yang paling mewakili aspirasi masyarakat. Jika keduanya bergabung maka akan sangat kuat, tidak hanya di parlemen tapi juga di masyarakat. Juga menghapus polarisasi ekstrim yang selama ini terjadi”, ujar M. Qodari.
Berbanding terbalik dengan M. Qodari, Refly Harun, Pakar Hukum Konstitusi dengan tegas menolak ide penambahan masa jabatan presiden. Baginya ide tersebut adalah keliru besar dan akan semakin memperburuk pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Baginya, solusi perbaikan demokrasi di Indonesia saat ini bukan penambahan masa jabatan, melainkan penghapusan syarat ambang batas dalam mengusung calon presiden dan calon wakil presiden (presidential threshold).
“Diduga kuat ide penambahan atau perpanjangan masa jabatan presiden adalah upaya untuk mengamankan proyek pemindahan Ibu Kota yang nilainya mencapai Rp 500 Triliyun. Saya mencium bahwa para oligarki akan membeli mayoritas parpol dan melakukan rekayasa politik. Oleh sebab itu, saya dorong agar kita semua melanjutkan perjuangan mendobrak aturan ambang batas ini”, jelas Pakar Hukum yang juga pengelola channel youtube Refly Harun.
Prof. Tim Lindsey dari Melbourne University juga turut memberikan respon atas isu ini. Ia menyatakan bahwa amandemen UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden adalah pernyataan yang terang-benderang atas transisi politik Indonesia dari rezim otoriter menjadi negara hukum yang demokratis. Upaya untuk merusak pembatasan tersebut berkonsekuensi buruk bagi demokrasi Indonesia.
“Setiap usulan untuk menghapuskan pembatasan dua periode masa jabatan presiden harus mendapat perhatian besar. Usulan demikian mengancam salah satu hasil reformasi Indonesia yang pertama dan paling penting, dan akan tepat menyerang pada jantung dari sistem demokrasi yang dilahirkan dua dekade lalu”, papar Lindsey.
Selaras dengan Lindsey dan Refly, Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini memandang bahwa masa jabatan presiden 3 (tiga) periode akan membawa kekacauan politik dan krisis demokrasi di Indonesia. “Ketimbang menghabiskan energi bangsa sia-sia untuk mempromosikan wacana presiden tiga periode, yaitu justru menimbulkan kontroversi, spekulasi, dan kontradiksi dengan situasi pandemi Covid-19 yang tengah kita hadapi, maka lebih baik semua pihak berkonsentrasi memastikan agar Pemilu 2024 bisa terlaksana sesuai jadwal dengan kualitas dan integritas yang makin baik, serta tidak mengulangi patologi elektoral yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu”, lugas tokoh perempuan yang kerap menjadi ahli di MK ini.
Terakhir, diskusi ini ditutup oleh closing statement dari Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga merupakan Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Denny Indrayana. Beliau menyatakan meskipun amandemen UUD 1945 merupakan suatu hal yang wajar, namun harus didasari dengan alasan (constitutional moment) yang tepat. Saat ini, alasan tersebut belum ada. Jika dipaksakan, akan muncul dugaan adanya agenda elitis yang ingin menunggangi amandemen. (Olpah Sari Risanta - Andra)